HOW TO BOOST HAPPPY HOTMONE (CARA MENINGKATKAN HORMON BAHAGIA)
Dr. Jen Zainal Asyikin Hans
■ The image titled "How to Boost Happy Hormone" lists activities that increase four key neurochemicals: Oxytocin, Dopamine, Serotonin, and Endorphins—each of which supports emotional well-being.
■ Gambar berjudul "Cara Meningkatkan Hormon Bahagia" ini memuat daftar aktivitas yang dapat meningkatkan empat neurokimia utama: Oksitosin, Dopamin, Serotonin, dan Endorfin—yang masing-masing mendukung kesejahteraan emosional.
■ Let’s explore this concept through both Islamic wisdom and Stoic philosophy, showing how ancient teachings harmonize with modern science.
■ Mari kita jelajahi konsep ini melalui kebijaksanaan Islam dan filsafat Stoik, untuk melihat bagaimana ajaran kuno dapat selaras dengan ilmu pengetahuan modern.
1. Oxytocin – The Love Hormone (Oksitosin – Hormon Cinta)
■ Boosted by: hugging, kissing, holding hands, affection, playing with pets
■ Ditingkatkan melalui: berpelukan, berciuman, bergandengan tangan, menunjukkan kasih sayang, bermain dengan hewan peliharaan
Islamic View (Pandangan Islam)
■ Uslam emphasizes rahmah (mercy) and mawaddah (love) between people—especially in family and community.
■ Islam sangat menekankan pentingnya rahmah (kasih sayang) dan mawaddah (cinta), terutama dalam keluarga dan hubungan sosial.
■ The Prophet Muhammad ﷺ said: “He who does not show mercy will not be shown mercy” (Sahih Bukhari)
■ Nabi Muhammad ﷺ bersabda: “Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi” (HR Bukhari)
■ Expressing affection—physically or emotionally—is not just permitted but recommended (sunnah) in many contexts.
■ Menunjukkan kasih sayang secara fisik atau emosional adalah amal yang dianjurkan (sunnah) dalam banyak situasi.
Stoic View (Pandangan Stoik)
■ Stoics value connection rooted in virtue, not dependency.
■ Filsafat Stoik menghargai hubungan sosial yang berbasis kebajikan, bukan ketergantungan emosional.
■ Marcus Aurelius advised treating others with kindness, for we are all part of the same human family.
■ Marcus Aurelius menekankan bahwa kita semua bagian dari satu umat manusia; oleh karena itu, bersikap baik kepada sesama adalah bagian dari tugas moral kita.
■ Oxytocin-producing acts like affection or bonding reflect our natural sociability, and aid in building a just and harmonious society—central to Stoic cosmopolitanism.
■ Tindakan-tindakan yang menghasilkan oksitosin mencerminkan sifat alami kita sebagai makhluk sosial yang beretika.
2. Dopamine – The Reward Hormone (Dopamin – Hormon Penghargaan)
■ Boosted by: finishing tasks, small wins, self-care, productivity
■ Ditingkatkan melalui: menyelesaikan tugas, kemenangan kecil, merawat diri, produktif
Islamic View (Pandangan Islam)
■ Islam values niyyah (intention) and effort (juhd). The reward isn’t just in the outcome but the process: “Each person will have what they intended.” (Sahih Bukhari)
■ Islam menghargai niat (niyyah) dan usaha (juhd). Nilai suatu tindakan tidak hanya pada hasilnya, tetapi juga niat dan prosesnya: “Setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari)
■ Finishing a task with sincerity is a form of worship (‘ibadah) if aligned with good intentions.
■ Menyelesaikan tugas dengan niat yang benar bisa menjadi ibadah jika dilakukan dengan tujuan baik.
Stoic View (Pandangan Stoik)
■ Stoics urge discipline in daily habits. For Epictetus, fulfillment comes from doing your duty well—not from external applause.
■ Stoik mengajarkan disiplin dan konsistensi. Menurut Epictetus, kepuasan sejati datang dari menjalankan tugas hidup dengan baik, bukan dari pujian orang lain.
■ Each small victory strengthens your inner character, and the joy it brings (dopamine) is a natural consequence of living virtuously.
■ Setiap pencapaian kecil memperkuat karakter kita dan memberikan rasa bahagia yang berasal dari kehormatan diri.
3. Serotonin – The Mood Stabilizer (Serotonin – Penstabil Suasana Hati)
■ Boosted by: sunlight, nature walks, meditation, healthy eating, routine
■ Ditingkatkan melalui: berjemur, jalan di alam, meditasi, makan sehat, rutinitas teratur
Islamic View (Pandangan Islam)
■ The Prophet ﷺ encouraged balance in body, mind, and spirit.
■ Nabi ﷺ mengajarkan keseimbangan antara tubuh, pikiran, dan ruhani.
■ Walking, sunlight (early prayer outdoors), healthy eating (halalan tayyiban), and routine (daily prayers) reflect this.
■ Berjalan, berjemur (misalnya saat sholat Subuh di luar), makan halal dan thayyib, serta sholat lima waktu mencerminkan keseimbangan ini.
■ Dhikr (remembrance) and meditation-like khushu’ in salah align with serotonin-boosting mindfulness.
■ Dzikir dan khusyuk dalam sholat merupakan bentuk “meditasi” yang menenangkan jiwa dan menstabilkan suasana hati.
Stoic View (Pandangan Stoik)
■ Nature and stillness are keys to the Stoic way.
■ Para Stoik memandang keheningan, alam, dan rutinitas sebagai sumber kedamaian batin.
■ Seneca praised walking in nature as a source of clarity.
■ Seneca menyarankan berjalan di alam untuk menjernihkan pikiran.
■ Consistent routines, healthy choices, and meditative reflection (prosoche) keep the mind aligned with reason and peace—boosting inner stability like serotonin does biologically.
■ Rutinitas yang sehat, makanan bergizi, dan refleksi diri (disebut prosoche dalam Stoik) menjaga jiwa tetap tenang seperti serotonin menjaga kestabilan mood.
4. Endorphins – The Pain & Stress Fighters (Endorfin – Pengurang Nyeri dan Stres)
■ Boosted by: laughter, exercise, kindness, music, movies
■ Ditingkatkan melalui: tertawa bersama, olahraga berat, kebaikan, mendengarkan musik, menonton film
Islamic View (Pandangan Islam)
■ Islam allows joy within halal boundaries. The Prophet ﷺ laughed, played with his family, encouraged kindness, and valued recreation.
■ Islam tidak melarang kegembiraan selama dalam batas halal. Nabi ﷺ tertawa, bermain dengan keluarga, dan mendorong perbuatan baik.
■ Good deeds done with joy are not only spiritually rewarding but psychologically healing: “Smiling in your brother’s face is charity” (Tirmidhi)
■ Kebaikan yang dilakukan dengan sukacita bernilai ibadah: “Senyummu kepada saudaramu adalah sedekah” (HR Tirmidzi)
Stoic View (Pandangan Stoik)
■ Stoicism doesn’t forbid pleasure but teaches moderation and detachment.
■ Stoik tidak menolak kesenangan, tetapi mengajarkan pengendalian diri dan kebijaksanaan.
■ Laughter, music, and kindness are welcomed when they don’t compromise virtue. Even exercise was seen as important for mental resilience and health (as per Musonius Rufus).
■ Tertawa, musik, dan kebaikan diterima selama tidak melanggar nilai kebajikan. Bahkan olahraga dipandang penting untuk ketahanan mental dan kesehatan (menurut Musonius Rufus).
■ Acts of kindness foster eudaimonia—a flourishing life—and release endorphins as a byproduct.
■ Tindakan kebaikan menumbuhkan eudaimonia—kehidupan yang berkembang secara utuh—dan melepaskan endorfin sebagai efek samping yang positif.
Final Reflection (Penutup)
■ From both an Islamic and Stoic perspective, a happy life is not a pursuit of pleasure, but a commitment to virtue, balance, connection, and gratitude. The hormones we naturally produce support us when we align with this higher path.
■ Dalam Islam dan Stoisisme, kebahagiaan bukanlah tujuan utama, melainkan buah dari hidup yang penuh kebajikan, seimbang, dan penuh kesadaran. Hormon-hormon bahagia ini hadir secara alami ketika kita hidup sesuai fitrah dan akal sehat.
■ Demikianlah adanya... Demikianlah kenyataannya...
www.keajaibanbersyukur.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar